Tak Sekadar Candi Megah, Borobudur Pusat Musik Dunia
Saat masih sekolah dan tinggal di Kota Bogor, Jawa Barat, setiap libur Idulfitri saya dan keluarga besar kerap berkunjung ke Candi Borobudur. Dulu ada saudara yang tinggal di Yogyakarta. Jadi sambil berkunjung, sambil jalan-jalan ke beberapa tempat wisata di sekitaran Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Beberapa kali malah bablas sampai ke Bali. Kebetulan dulu ada saudara juga yang tinggal di sana. Kami berangkat dengan menggunakan mobil pribadi yang berukuran besar. Mobil dengan tiga baris jok. Terkadang hanya satu mobil, terkadang dua hingga tiga mobil. Tergantung berapa banyak anggota keluarga yang ikut.
Kami biasanya berangkat dari Bogor malam hari, sampai di Yogyakarta pagi. Beberapa anggota keluarga menyetir bergantian. Saat yang satu lelah dan mengantuk, digantikan oleh yang lain. Terkadang bila seluruh anggota keluarga yang di mobil sudah merasa sangat letih dan pegal karena duduk berdempetan, kami beristirahat dulu di SPBU.
Bisa berkali-kali berhenti seperti ini. Biasanya kami mencari SPBU yang lumayan besar dan terlihat bersih. Biar ada toilet dan mushala. Sekalian menumpang salat, cuci muka, makan bekal yang dibawa, hingga menyelonjorkan kaki sejenak. Apalagi perjalanan kami juga tidak buru-buru karena niatnya untuk liburan.
Candi Megah Bersejarah
Setiap kali ke Candi Borobudur, hal yang selalu kami lakukan adalah menyentuh salah satu arca yang ada di dalam stupa berongga, Kunto Bimo, sambil menyebutkan keinginan dalam hati. Konon, bila kita berhasil menyentuh salah satu bagian dari arca tersebut keinginan kita bisa terkabul.

Ini mitos yang mirip dengan Prasasti Batu Tulis di Kota Bogor. Hanya saja, kalau arca di Borobudur harus disentuh, batu prasasti di Batu Tulis harus dipeluk. Konon bila kita bisa mendekap batu prasasti peninggalan Kerajaan Pajajaran tersebut, keinginan kita yang diucapkan dalam hati saat mendekap batu tersebut bisa terkabul.
Selain menyentuh arca Kunto Bimo, hal lain yang dilakukan saat berkunjung ke Candi Borobudur adalah melihat relief yang ada di sepanjang candi yang menjadi salah satu objek wisata andalan Wonderful Indonesia. Pahatan batu yang sangat detail tersebut mampu membuat semua orang yang melihat terkagum-kagum.
Sayang, rasa kagum pada relief-relief tersebut hanya sebatas kagum. Tidak ada upaya untuk memahami lebih jauh mengenai pahatan-pahatan yang ada di dalam relief. Paling relief-relief yang artisitik tersebut dijadikan latar belakang foto, baik foto sendiri maupun foto bersama keluarga.
Saat melakukan karya wisata bersama guru dan teman-teman sekolah pun demikian. Kami para siswa lebih sibuk berfoto bersama. Padahal saat berkunjung dengan pihak sekolah, baik saat SMP maupun SMA, ada pendamping yang menjelaskan terkait Candi Borobudur yang sangat fenomenal tersebut.
Tak dipungkiri, masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggap candi Buddha yang dinobatkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO tersebut hanya sebatas bangunan bersejarah warisan wangsa Syailendra. Objek wisata peninggalan masa lalu. Besar, megah, dan unik karena disusun dari balok-balok batu yang tidak menggunakan perekat atau semen.

Berbagai ilmu pengetahuan tersebut disimpan dalam 1.460 relief yang tersebar di hampir seluruh bagian candi. Berupa pahatan yang sangat artistik. Ilmu pengetahuan yang tersemat dibagian-bagian candi sangat beragam, mulai dari siklus kehidupan manusia, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia, flora dan fauna, sosial politik hingga kesenian.
Melalui relief-relief tersebut kita juga jadi tahu bahwa berabad lalu, masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di sekitar Borobudur, sudah memiliki peradaban dan kebudayaan yang tinggi. Mereka sudah mengenal wayang, gamelan, ilmu irama sajak, batik, kerajinan logam, astronomi, pertanian sawah, hingga menerapkan sistem mata uang sendiri dan birokrasi pemerintahan yang teratur.
Bahkan ada kemungkinan Borobudur merupakan pusat musik dunia., pusat peradaban, dan titik pertemuan para pembawa budaya dari berbagai penjuru nusantara dan dunia.

Sama seperti coretan, lukisan, dan cap di dinding gua yang dibuat oleh manusia purba, relief di dinding Candi Borobudur juga bisa jadi merupakan medium untuk menyampaikan pesan atau catatan-catatan peristiwa yang terjadi di zaman itu. Apalagi pada abad ke-8, meski kertas sudah ditemukan, masih jarang digunakan.
Terlebih alat musik yang tergambar di relief Borobudur, beberapa bisa kita temukan hingga saat ini. Meski tidak bisa dipastikan suaranya persis sama, karena tidak ada peninggalan berupa rekaman suara, setidaknya banyak alat musik yang masih kita mainkan hingga saat ini bentuknya sama persis dengan alat musik yang ada di relief Candi Borobudur.

Alat-alat musik yang tergambar di relief-relief Candi Borobudur tersebut tak hanya tersebar di 34 provinsi di Indonesia, tetapi juga hingga ke 40 negara di penjuru dunia, mulai dari Benua Asia, Afrika, Amerika hingga Eropa.
Anw, bisa jadi sebelum orkestra-orkestra dimainkan di Vienna, Austria oleh para komposer dunia seperti Mozart, Beethoven, Haydn, dan Schubert, di Borobudur sudah lebih dulu diadakan pagelaran musik berkelas dunia. Sebab, keempat komposer tersebut justru lahir beberapa tahun setelah Candi Borobudur mulai dibangun.
Beberapa tahun terakhir ini, relief-relief yang ada di Candi Borobudur mulai dikaji dan diteliti dengan lebih komprehensif, terutama yang terkait dengan musik. Bahkan ada Sound of Borobudur. Sebuah gerakan kebangsaan yang dilakukan melalui budaya, dengan menggaungkan kembali bunyian peradaban Borobudur yang terpendam selama ribuan tahun agar dapat dimanfaatkan di masa depan.

Mereka membuat komposisi, aransemen, lalu berkumpul untuk membunyikan alat musik yang tergambar di relief-relief Candi Borobudur dalam interpretasi kekinian. Trie Utami, Dewa Budjana, Purwacaraka dan para musisi lainnya merekam belasan komposisi dan melakukan perekaman gambar. Sehingga alat-alat musik yang tergambar di relief-relief candi kini sudah bisa dinikmati, sudah berkumandang. Sound of Borobudur sudah menggema.
Acara pembukaan Borobudur Cultural Feast yang diadakan Desember 2016 lalu, di Lapangan Lumbini, yang masih di dalam areal Candi Borobudur, menjadi momentum awal peluncuran beberapa alat musik yang direplika dari relief dinding candi. Alat musik tersebut berupa gasona, gasola dan solawa. Ketiga replika alat musik itu kemudian dipadukan dengan alat musik lain yang ada di relief candi, tetapi sekarang masih aktif dimainkan, seperti gendang, seruling dan gamelan.
Agar Lebih Menggema, Buat Acara Rutin di Hari Musik Nasional
Meski sudah mulai didengungkan, Sound of Borobudur belum merambah ke semua kalangan. Masih banyak masyarakat Indonesia yang belum tahu bahwa candi kebanggan kita tersebut memiliki banyak hal menarik yang sangat berharga terkait musik.

Selain itu, agar alat musik yang ada di relief candi semakin memasyarakat, sebaiknya diperbanyak dan dijual secara komersial dengan harga terjangkau.
Ada baiknya, melakukan kerjasama juga dengan perguruan tinggi yang memiliki jurusan musik. Ajak dosen dan mahasiswa untuk berkolaborasi mendengungkan Sound of Borobudur. Kalau perlu alat-alat musik yang ada di relief Candi Borobudur, yang saat ini belum diajarkan di perguruan tinggi tersebut, perlahan dimasukan ke mata kuliah.
Sound of Borobudur merupakan kebanggaan kita bersama. Semua pihak sudah sepantasnya terlibat untuk menggaungkan hal tersebut. Salam Kompasiana! (*)
Referensi:
Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya
Bercerita +SELENGKAPNYA
Ketemu di Ramadan

Selain buka puasa bersama, Kompasiana dan teman Tenteram ingin mengajak Kompasianer untuk saling berbagi perasaan dan sama-sama merefleksikan kembali makna hari raya.
Info selengkapnya: KetemudiRamadan2025