Finansial Sehat Ramadan: Jangan Kegedhen Empyak Kurang Cagak
Lain ladang, lain pula belalangnya. Pepatah bijak ini bisa kita kaitkan dengan tradisi memasuki, menjalani, dan memenangi bulan Ramadan.
Tahun 1970-an tradisi memasuki bulan ramadan di Kuala Tungkal, Jambi, adalah "menguras" tabungan untuk merayakan ramadan dan idulfitri. Seakan-akan memang muncul semangat bersama mencari uang selama setahun hanya untuk dihabiskan demi menyiapkan pesta kemenangan menjalankan ibadah puasa, menggapai hari yang fitri.
Kita tak usah heran jika bertamu ke tempat tetangga/kerabat, ruang tamunya diisi perabotan baru, makanan/minumnya disajikan melimpah ruah di meja. Lampin rotannya mengkilap, cat dinding kayunya mulus, kordennya tidak lecek.
Saat pindah ke Yogyakarta tahun 1980-an, memasuki bulan Ramadan, suasananya adem ayem, tidak ada kehebohan mengecat ulang rumah, membeli perabot baru, mengganti korden.
Paling yang berbeda, saat idulfitri, adalah isi meja tamu yang dipenuhi dengan aneka kue dan minuman. Selebihnya biasa saja.
Eloknya lagi, suasana lebaran sangat terasa hanya pada hari pertama. Setelah hari pertama atau kedua, lebaran terasa basi.
Paling-paling yang tersisa adalah kemeriahan syawalan trah dan halal bihalal di kantor-kantor. Bahkan di desa, para petani pada hari kedua sudah kembali ke alam: bekerja ke sawah -- tandur, nggaru, leb, mantun, dan angon.
Perbedaan suasana lebaran itu terjadi setidaknya karena masyarakat di Kuala Tungkal lebih homogen, sedangkan di Yogya sangat heterogen. Penyebab lainnya karena masyarakat Jawa (Yogyakarta) sangat fasih memaknai peribahasa kegedhen empyak kurang cagak.
Mereka berhati-hati dalam pengelolaan keuangan agar tidak lebih banyak pengeluaran dibandingkan pemasukan, atau terlalu besar empyak (yang disangga), daripada cagak (tiang penyangga). Kalau situasi itu terjadi akan mengakibatkan bangunan roboh karena tiang penyangganya kurang kuat.
Begitu pula dengan pengelolaan kekuangan, jika tidak bisa mengatur dengan baik, niscaya akan berakibat devisitnya keuangan.
Tidak hanya itu, ada makna lain terkait peribahasa kegedhen empyak kurang cagak yakni keinginan terlalu tinggi, namun tidak sanggup membiayainya.
Bercermin dari peribahasa (jangan) kegedhen empyak kurang cagak, maka agar finansial sehat selama ramadan, kita harus berhati-hati dalam pengeluaran uang.
Meskipun selama puasa kita hanya makan dua kali sehari, ternyata pengeluaran uang lebih banyak dibandingkan hari biasa (makan tiga kali). Hal ini terjadi karena kita mudah tergiur dan kalap mata, ingin membeli makanan ini-itu untuk berbuka puasa. Padahal begitu berbuka puasa, minum dan makan sedikit saja, perut terasa sudah kenyang.
Atau terkadang sekadar mengikuti tren dan biar dianggap kekinian, mengadakan acara buka bersama dengan dua sampai lima orang teman.
Merasa mendapat THR, lalu memesan berbagai macam kue lebaran: roti sagu, nastar, kastengel, lapis legit, maskuba, dan entah roti hantu blau apalagi, tanpa mengingat pesanan roti harganya sudah berganti (bukan sekadar naik) dibandingkan tahun lalu.
Begitu juga soal tampilan, ingin berbeda dari hari-hari biasa, maka beli pakaian di mal. Semula ingin beli satu, tapi karena ada promo beli dua gratis satu, jadilah beli dua baju. Tak sadar kalau berpengaruh pada budget.
Cukuplah kita makan dan tampil seadanya. Gunakanlah kelebihan uang untuk bersedekah kepada saudara-saudara kita yang masih kekurangan dalam mencukupi kehidupan sehari-hari.
Prinsip pengelolaan keuangan yang saya terapkan selama ramadan adalah dengan menempuh jalan ana sethithik dipangan sethithik, yen ana turah disisihke enggo sesuk esok...
Dengan begitu, setelah lebaran, saya tetap punya uang tabungan.
Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya
Bercerita +SELENGKAPNYA
Ketemu di Ramadan

Selain buka puasa bersama, Kompasiana dan teman Tenteram ingin mengajak Kompasianer untuk saling berbagi perasaan dan sama-sama merefleksikan kembali makna hari raya.
Info selengkapnya: KetemudiRamadan2025